Jumat, 26 Desember 2008

anak adi lundayeh metaga.............

pian ko neteng seh buri kuan kei,,,,,, meri keli ko............................

2 komentar:

hengki_gelate mengatakan...

nan te femung na muyuh me yafe-yafe ko......
yenih mo teu........

hengki_gelate mengatakan...

SEJARAH DAYAK LUNDAYEH

A. Legenda Dayak Lundayeh
Sampai saat ini belum ada penelitian yang mendalam tentang asal-usul dayak Lundayeh yang dapat dijadikan referensi yang akurat. Namun menurut legenda bahwa nenek moyang dayak Lundayeh berasal dari daratan Cina yang berimigrasi ke bumi Borneo berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan benda peninggalan budaya yang ada dalam masyarakat Dayak Lundayeh, seperti tabu’ (guci), rubi (tempayan), patung proslen, bau (manik) dari Cina dan felepet (pedang sejenis samurai).
Nenek moyang dayak Lundayeh masuk melalui sungai Sesayap. Budaya mereka adalah nomaden atau hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain dengan cara mudik ke hulu sungai. Alasan budaya berpindah-pindah tempat tinggal ini, adalah: pertama karena menghindari dari kejaran musuh; dan kedua untuk mencari lahan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada beberapa tempat yang diperkirakan pernah menjadi daerah hunian nenek moyang dayak Lundayeh, yaitu di daerah Seputuk dan Kebiran. Di dua derah ini ditemukan kuburan tua dan batang ulin bekas dipotong-potong manusia lama. Oleh karenanya ada yang menyebut bahwa orang Mentarang adalah suku Putuk.
Sumpah tulang badi’ adalah salah satu legenda masyarakat yang menceritakan bahwa jaman dahulu ada dua bersaudara laki-laki dan perempuan yang hidup di Malinau. Demi keamanan dari kejaran musuh, si kakak meminta adik perempuannya mudik ke hulu sungai dan si kakak tetap tinggal di Malinau. Sang kakak bersumpah demi tulang badi’ (seperti sumpah Palapa dari Mahapati Gajah Mada) : “Bahwa tidak akan ada yang boleh masuk ke hulu sungai ini untuk mengganggu hidup adik perempuanku dan sungai Sembuak inilah batasnya”.
Sejak saat itu sang adik perempuan mudik ke hulu sungai dan beranak-pinak di sana. Sedangkan si kakak laki-laki tetap hidup dan beranak-pinak di Malinau. Sesuai dengan sumpahnya, sang kakak menjaga jangan sampai ada yang masuk ke hulu sungai untuk mengganggu adiknya. Sampai-sampai arus balik air-pasang sederas apapun dipercaya akan berhenti di muara sungai Sembuak.
Legenda sumpah tulang badi’ inilah yang dipercaya menjadi cikal-bakal manusia dari suku Tidung di Malinau dari sang kakak laki-laki, dan suku Putuk atau Lundayeh dari sang adik perempuan di hulu sungai.













B. Masuknya Agama Kristen
Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Mentarang dan Krayan, masyarakat dayak Lundayeh adalah pemeluk animisme. Mereka percaya pada kekuatan-kekuatan alam-gaib, seperti penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang serta benda-benda keramat lainnya.
Untuk mempertahankan diri atau mencari daerah yang menjadi lahan kehidupan, masyarakat tidak segan-segan untuk febunu’ (berperang) dengan komunitas yang lain. Jika seorang pria yang ingin dianggap perkasa, maka ia akan pergi ke daerah musuh untuk mengayau (memotong kepala).
Pada tahun 1932 seorang misionaris CMA (Christian Missionary Aliance) berkebangsaan Amerika bernama Rev. E.W. Presswood bersama isterinya Fiolla Presswood masuk ke wilayah masyarakat dayak Lundayeh di Mentarang dan Krayan menyebar agama Kristen. Pada awalnya masyarakat di Mentarang kurang menanggapi ajaran agama kristen, dan sulit untuk membuang kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar turun-temurun. Namun dengan dengan tekun dan kesabaran yang tinggi, Presswood terus menyampaikan kabar penyelamatan manusia dari dosa dan mengadakan kebaktian-kebaktian rutin di dalam rumah-rumah penduduk di Mentarang sampai ke daerah Krayan.
Pada tahun 1938 Ny. Fiola Presswod meninggal dunia di Long Berang. Oleh lembaga misi CMA, Presswood diberikan waktu cuti pulang ke USA untuk beristirahat dan menenangkan diri. Sebagai ganti Presswood pada tahun 1939 dikirim, yaitu Rev. John Willfinger untuk melanjutkan misi Kristen di daerah Mentarang dan Krayan.
Pada saat pecah Perang Dunia II, tentara Jepang yang bermarkas di Tarakan datang ke Long Berang untuk menangkap John Willfinger karena dianggap sebagai bagian dari sekutu. Masyarakat Lundayeh pada waktu itu berusaha untuk menyembunyikan John Willfinger di desa-desa sekitar Long Berang, namun John Willfinger tidak ingin masyarakat dayak Lundayeh dilibatkan dan menjadi sasaran pembunuhan tentara Jepang.
Pada tahun 1942 John Willfinger menjadi tawanan Jepang dan dibawa ke Tarakan. Tepat pada hari Natal, yaitu tanggal 25 Desember 1942 di mana orang-orang Kristen seluruh dunia menyambut hari kelahiran Yesus Kristus, seorang hamba Tuhan yang bekerja dalam misi penyelamatan manusia dari dosa, yaitu John Willfinger tewas sebagai martir ditembak oleh tentara Jepang di Tarakan.
Setelah Perang Dunia II usai dan Indonesia telah menjadi negara yang merdeka, pada tahun 1946 Rev. E.W. Preswood kembali datang ke Long Berang dari USA bersama isteri keduanya yaitu Ny. Ruth Presswood untuk melanjutkan misi pelayanan agama Kristen.
Theologi Kristen yang diajarkan oleh E.W Presswood inilah yang menjadi cikal-bakal berkembangnya ajaran agama kristen dengan pesatnya di daerah komunitas dayak Lundayeh, seperti Mentarang, Krayan dan Malinau.
Sumber Data (Lisan):
1. Pdt. Dr. Matias Abay, M.Div
2. Pdt. Buing Udan

C. Sejarah Melawan Jepang
Pada bulan Maret 1945 ada beberapa pesawat sekutu dari skuadron tempur Australia yang menyerang pangkalan-pangkalan Jepang di daerah kota Merudi Malaysia. Salah satu pesawat tempur sekutu sayap kirinya kena tembak meriam anti pesawat Jepang. Dengan sayap kiri terbakar pilot pesawat tempur keluar dari area pertempuran dan menuju ke timur. Pesawat tersebut tidak dapat kembali ke pangkalannya sehingga mendarat darurat di desa Long Kesurun.
Awak pesawat tempur skuadron sekutu tersebut berjumlah 4 (empat) orang dan satu orang yaitu mekaniknya mati terbakar di pesawat, sedangkan yang hidup dalam pendaratan darurat tersebut adalah :
1. Philip Kearing (Komandan Pilot)
2. Daniel (Co Pilot)
3. John Terry (Juru Tembak).
Asisten Wedana di Mentarang yang berkedudukan di Long Berang pada saat itu adalah Makahanap meminta kepada Kepala Adat Besar Mentarang Padan Pangeran untuk memobilisasi masyarakat membantu mengamankan tentara sekutu tersebut.
Pada saat itu Jepang masih menguasai Asia, salah satu pangkalan kekuatan bersenjatanya berada di Tarakan. Mengetahui ada tentara sekutu yang bersembunyi di Mentarang, tentara Jepang dengan komandan bernama Taico mudik dari Malinau menuju Long Berang untuk menangkap tentara sekutu. Pada saat tentara Jepang sampai di Mentarang, ketiga tentara sekutu ini diamankan oleh masyarakat adat dayak Lundayeh di Long Metuil.
Masyarakat adat dayak Lundayeh tidak senang akan kedatangan tentara Jepang ke daerahnya, sehingga terjadilah beberapa babak pertempuran yang sengit dan heroik menyebabkan puluhan tentara Jepang tewas. Karena medan tempur yang sulit di tengah hutan-belantara dan sungai-sungai yang berjeram, serta teknik perang gerilya suku dayak Lundayeh dengan senjata sumpit yang banyak merugikan tentara Jepanag, maka awal tahun 1946 Jepang memutuskan untuk mundur dan menarik pasukannya dari daerah Mentarang untuk kembali ke Tarakan.

Sumber Data :
1. EZ Giso, 2006 (Tertulis).
2. Litun Pangeran (Lisan).